Tindakan, langkah dan perilaku adalah buah dari akal pikiran. Akal pikiran sejalan dengan ilmu pengetahuan, serta pengalaman. Dalam pembicaraan "politik" disebut "track record" rekam jejak dari seorang.
Menelusuri rekam jejak dan alam pikiran seseorang merupakan cara kerja rasional dalam menentukan pilihan politik. Tapi, ada juga politik praktis yang menuntun orang bertindak pragmatis, dalam mencapai kemenangan/menghindari kekalahan".
Politik pragmatis adalah politik menang - kalah. Sehingga slogannya tak ada gunanya berlaku baik dan benar kalau anda kalah. Maka, bertindaklah apapun untuk mencapai kemenangan. (Machiavellian).
Logika pragmatis, teknisnya hanya menyesuaikan dengan perilaku publik. Publik menghendaki transaksi maka mesti dan harus transaksi. Transaksi bisa berupa uang, barang dan iming-iming materi lainnya. Dengan demikian akan mendapatkan suara (hati-hati bisa juga tertipu).
Jadi, hidup ini adalah pilihan. Berlaku baik adalah kemenangan abadi. Berlaku pragmatis dan menang - kalah adalah kemenangan sesaat. karena itu akan melabrak norma-norma, bahkan keyakinan agama yang sakral lagi mulia.
Perkataan yang paling jujur dari seseorang adalah perbuatannya". Maka, untuk menentukan pilihan lihatlah perbuatannya. Karena "Hidup adalah Perbuatan".
Wallau'alam
Minggu, 03 Maret 2019
Hidup adalah Pilihan dan Hidup adalah Perbuatan
Senin, 09 Juni 2014
Kamis, 19 September 2013
Pandong Spenra "Blusukan" demi Orang Rimba
Masyarakat di perbatasan Provinsi Sumatera Barat-Jambi-Riau menjuluki Pandong Spenra (34) "bupati orang rimba". Tentu bukan karena ia memenangi pemilihan kepala daerah. Julukan itu melekat karena komitmen dan konsistensinya memperjuangkan nasib Suku Anak Dalam yang mendiami hutan di areal tapal batas ketiga provinsi itu.
Separuh hidup Pandong didedikasikan untuk orang Rimba yang tersu terdesak akibat alih fungsi lahan. Lahir dan besar di pedesaan yang berbatasan dengan hutan hunian Suku Anak Dalam (SAD), Pandong lekat dengan problematika mereka.
Pergumulan antara nilai kearifan loka dan arus kapitalisasi di hutan habitat orang Rimba membuat hati Pandong miris melihat keterbelakangan mereka.
"Orang rimba semakin terdesak dari alam mereka sendiri akibat masifnya alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan hutan tanaman industri," ujarnya.
Salah satu kegaiatannya adalah pemberian layanan pendidikan. Ia bersama relawan masuk-keluar hutan mengenalkan aksara kepada anak-anak Rimba. Digandengnya anak muda aktivis sosial untuk mengajarkan baca-tulis dan berhitung bagi anak Rimba. Hasilnya, sejumlah orang Rimba nayaman menjual hasil hutan damar dan rotan kepada juragan di kampung.
"Setidaknya anak saya tak takut ditipu para tauke (juragan)," ujar Yusuf (50), salah satu tokoh orang Rimba di kawasan hutan Dharmasraya, Sumatera Barat.
Kegiatan lain yang terus digagas Pandong adalah pelayanan kesehatan untuk SAD. Salah satu yang ditekankan adalah sanitasi. Ia merintis kebiasaan hidup sehat SAD dengan menjauhkan hunian mereka dari sumber penyakit menular. Jamban keluarga mulai dikenalkan sehingga mereka tidak sembarangan membuang tinja.
Ia juga menggandeng Pemerintah Kabupaten Darmasraya menyediakan jaminan asuransi kesehatan bagi warga SAD, seperti warga umum lainnya. Dinas Kesehatan Dharmasraya menyediakan jaminan kesehatan daerah untuk orang Rimab di wilayah ini.
Jumlah warga komunitas SAD sebanyak 60-100 orang. Sabagai gambaran, di hutan Dharmasraya, SAD terbagi dalam tiga kelompok besar, yakni rombong Marni, Penyiram, dan Yusuf. Pemkab DHarmasraya menjadikan SAD sebagai bagian dari warga miskin yang tertanggung dana sekitar Rp 2,9 miliar untuk pelayanan kesehatan.
Pandong pun ingin agar pemerintah tiga provinsi (Sumbar,Jambi, dan Riau) mau berkoordinasi dalam penjaminan kesehatan bagi SAD yang mendiami areal tapal batas ketiga provinsi itu. Orang Rimba punya kebiasaan berpindah dari satu kawasan hutan ke kawasan hutan lain mencari hasil hutan eperti rotan, damar, karet, serta satwa rimab, labi-labi (sejenis kura-kura).
Jika kartu jaminan kesehatan berdasarkan alamat, sulit bagi klinik atau rumah sakit melayani mereka. Sebab, sistem administrasi pelayananrumah sakit di daerah mengacu pada kabupaten domisili. " Sepatutnya pemerintah ketiga provinsi itu memahami kebiasaan mengembara orang Rimba."
Berkecimpung dalam keseharian SAD Pandong fasih menjelaskan kebiasaan mengembara orang Rimba yang tak lepas dari kepercayaan mereka. Ada masa di mana keluarga harus melewati ritual "melangun". Ritual ini menjadi penghiburan atau upaya melupakan kesedihan apabila salah satu anggota keluarga meninggal.
Mereka harus meninggalkan lokasi hunian tempat musibah itu terjadi. Kelurga harus boyongan pindah lokasi membawa selurah perabotan yang dimiliki. Lokasi tujuan "melangun" dan berapa lamanya ditentukan melalui permenungan Tumenggung, pemimpin kelompok komunitas itu. Satelah perkabungan di anggap selesai, mereka kembali ke lokasi asal.
Oleh karena "melangun" termasuk budaya SAD perlu kearifan pemerintah dalam memberikan pelayanan hak dasar warga negara, termasuk kesehatan bagi mereka. Inilah salah satu point penting dari advoksi yang dilancarkan Pandong.
Pluralisme
Esensi perjuangan Pandong adalah menguatkan kesadaran pluralisme (keberagaman). Aktivitas mengurusi orang Rimab sejalan dengan kegemarannya menangani bencana alam yang korbannya beragam, tak mengenal suku, agama, dan wialyah administrasi pemerintahan.
Tahun 2010, saat Gunung Sinabung di Sumatera Utara meletus, Pandong dan rekan-rekannya menjalankan misi kemanusiaan. Saat itu bertepatan dengan Idul Fitri. Ketika kaum Muslimin berkumpul dengan keluarga, Pandong dan kawan-kawan membaur bersama pengungsi bencana Sinabung yang secara komunitas berbeda.
"Kami orang Minang umumnya beragama Islam. sedangkan korban Gunung Sinabung di Brastagi umumnya Batak yang dominan Kristen. Tak ada masalah di sini," katanya.
Perjuangan menumbuhkan kesadaran akan pluralisme membangun sinergi pada aktivitas perekonomian. Kelompok tani di Nagari Sungai Duo, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Dharmasraya, dapat diyakinkan untuk membantu perekonomian SAD yang terusir dari rimab akibat maraknya usaha perkebunan.
Kelompok tani itu mau menyisihkan sebagian gabah hasil panen demi memasok bahan pokok. Sebab, hasil hutan seperti damar dan rotan tak selamanya bisa didapatkan dengan mudah.
Rumah Singgah
Rumah sederhana bertipe 21 yang dikontrak Pandong bersama keluarga seolah "diwakafkan" untuk orang rimba. Hampir setiap pekan ada orang Rimba, yang menjual rotan, damar, dan hasil hutan lainnya ke warga kampung bertandang ke rumahnya.
Mereka sekedar mengaso atau berkonsultasi seputar hak dasarnya. Pembicaraan bisa panjang, termasuk untuk kepentingan pembauran dan sosialisasi dengan warga desa. Tak jarang orang Rimba pun menginap di rumah Pandong.
"Orang Rimba tak mengenal waktu bertamu. Bila datangnya malam, mereka akan menginap. Ini sekalian agar mereka dapat merasakan hidup bermasyarakat dengan warga desa katantya.
Pergumulan bersama SAD menajamkan keyakinan Pandong dan kawan-kawannya bahwa kepedulian tulus kepada siapa pun bisa merangkai perbedaaan menjadi sesuatu yang indah.
Atas dasar pengalaman empirik, ia mendirikan Perkumpulan Peduli agar kegiatan terorganisasi. Lembaga yang didirikan 20 Desember 2010 itu menjadi wadah perekat antar komunitas.
Sumber : Kompas (Rabu, 03 Juli 2013)
Read More......
Rabu, 05 September 2012
Sekelumit tentang Perkumpulan Peduli
Suku anak dalam di Dharmasraya sangat terbantu dengan kehadiran Perkumpulan Peduli di sana. Bermodalkan semangat dan keikhlasan, perkumpulan yang dipimpin Pandong Spenra ini rutin memberikan bantuan makanan, obat-obatan serta mengadvokasi pendidikan kepada 15 KK orang rimba di Sungai Janiah, Sungai Bulangan, Kecamatan Kotobesar dan Batang Bakur, Kecamatan IX Koto.
MOBIL Taft BM 1981 BA warna hitam yang dikendarai Pandong, tiba-tiba mogok di Nagari Kototinggi, Kecamatan Kotobesar, Rabu (20/6) malam. Saat itu,Padang Ekspres bersama anggota Perkumpulan Peduli baru saja pulang dari rimba, mengunjungi rombong suku anak dalam Marni di Bukit Bulangan.
Pandong pun segera turun dan membuka kap mesin. Alangkah terkejutnya dia, ternyata selang radiator bocor. Air di dalam radiator ternyata kering. “Lagi apes kita hari ini. Harus cari air. Perjalanan masih jauh ke Pulaupunjung,” ujar Direktur Eksekutif Perkumpulan Peduli ini.
Kami pun turun. Mobil didorong ke tepi jalan. Pandong segera meminta dua anggotanya, Rio Saputra dan Eko untuk menyetop pengendara yang melintas. Tujuannya, untuk boncengan mencari air ke rumah penduduk. Setelah menunggu 10 menit, barulah ada motor lewat. Pandong menyetopnya dan meminjam motor Ihsan, yang kemudian diketahui warga Sitiung IV. Beruntung, Ihsan pun berbaik hati meminjamkan motornya kepada Rio dan Eko.
Tiga kali Rio dan Eko bolak-balik meminta air ke rumah penduduk, dengan botol Aqua besar ukuran 1.500 ml. Beruntung, setelah diisi radiator dengan air, mobil pun bisa distarter kembali. “Ayo berangkat. Kita harus bergegas ke persimpangan Kototinggi.
Di sana, sudah ada kawan abang yang menanti. Kita naik mobil dia saja nanti ke Pulaupunjung,” ulas Pandong.
Benar saja, selama perjalanan, air terus menetes dari selang radiator. Lima menit perjalanan, kami pun sampai di persimpangan Kototinggi. Di sana, sudah ada teman menanti. Kami pun pulang dengan mobil Avanza ke Pulaupunjung. Mobil Taft yang rusak, ditinggalkan di persimpangan Kototinggi, dekat toko teman Pandong.
Itu hanya sekelumit kisah yang dihadapi Perkumpulan Peduli dalam menjalankan misi kemanusiaan, membantu suku anak dalam (SAD). Di sela-sela perjalanan pulang menuju Pulaupunjung, Pandong bercerita. Terbentuknya Perkumpulan Peduli ini diawali saat dirinya bersama Rio Saputra, Yoga (Ketua Pramuka SMAN 1 Kotobaru) dan Khairul (Ketua OSIS SMAN 1 Sitiung) melakukan perjalanan ke Gunung Sinabung, Sumatera Utara, Oktober tahun 2010. Mereka berencana membantu korban meletusnya Gunung Sinabung. Saat itu, bertepatan dengan H-1 Idul Fitri tahun 2010 M.
Di tengah-tengah orang berkumpul dengan keluarganya, mereka malah memilih untuk berbaur bersama pengungsi Gunung Sinabung. “Walaupun tetes air mata mengiringi kawan-kawan ketika telepon berdering dari orangtua masing-masing di malam takbiran. Saat itu, kami berpikir bagaimana untuk membantu korban,” kenang Pandong.
Aksi kemanusiaan Pandong cs dilanjutkan membantu korban bencana tsunami Mentawai. “Di Mentawai, kami mengumpulkan sumbangan untuk dibagikan kepada korban bencana. Setelah tiba di Dharmasraya kembali, kami juga mengumpulkan sumbangan di jalan lintas Sumatera, Gunungmedan serta mengumpulkan sumbangan dari sejumlah sekolah yang tersebar di Dharmasraya,” tutur alumni Fakultas Hukum UBH yang juga advokat ini.
Pengalaman ini menajamkan keyakinan Pandong cs, bahwa ketika kepedulian ditawarkan kepada siapa pun, maka kepedulian itu akan bisa merangkai perbedaan menjadi sesuatu yang indah. “Keyakinan ini perlu meluas. Makanya, kami mendidirikan wadah Perkumpulan Peduli,” ulas ayah dua anak itu.
Perkumpulan Peduli dideklarasikan, Senin, 20 Desember 2010 di Dharmasraya. Kemudian dilanjutkan dengan penyusunan rencana strategis program pada 14 Februari 2011. Perkumpulan Peduli mempunyai visi wadah perekat antarkomunitas. Perkumpulan ini memiliki lambang jabatan tangan berbentuk hati dari serpihan puzzel berwarna orange.
“Bagi kami, lambang ini berarti nilai kepedulian dapat menciptakan ikatan dari perbedaan. Kami juga mempunyai misi untuk mengembangkan pusat penelitian sosial kemasyarakatan, membangun pusat belajar masyarakat sipil untuk keadilan, membangun komunitas bantuan hukum dan penggalangan dana sosial untuk kemanusian,” tutur putra Ampangkuranji, Dharmasraya ini.
Pendampingan Orang Rimba
Pendampingan orang rimba berawal dari survei yang dilakukan Perkumpulan Peduli bersama SSS Pundi. Dalam survei tersebut, Pandong bertemu dengan Marni, kepala rombong orang rimba yang pernah dibawa Pandong ke Jambi dalam rangka program KKI-Warsi Jambi tahun 2008. “Pertemuan tersebut, membuat saya prihatin melihat hidup Marni yang jauh berbeda dengan dahulunya, karena telah terusir di sekitar kawasan perkebunan PT Andalas Wahana Berjaya (PT AWB),” ungkapnya.
Di kesempatan lain, Pandong pun bertemu dengan rombongan bidan di Sungai Janiah. “Awalnya, ia tidak mau difoto, bahkan mereka mencurigai kami ingin berbuat jahat. Mereka menuduh kami “endok mengculiek” (mau menculik) kepada rombongannya. Wajar, saat itu ibuk bidan belum mengenal kami,” tutur Pandong.
Waktu berlalu, dukungan pembiayaan dari pemkab dan pihak swasta untuk membantu suku anak dalam (SAD), tak kunjung dapat. Pandong tak kehabisan akal, ia pun segera menemui kelompok tani di Nagari Sungaiduo, Kecamatan Sitiung. Pandong pun berusaha untuk meyakinkan kelompok tani tersebut, berkomitmen membantu SAD dengan menyumbangkan sebagian gabah mereka untuk kami salurkan kepada SAD ketika mereka membutuhkan.
SAD mempunyai sifat kurang bagus ketika mereka dibantu, mereka akan berusaha untuk terus mendapat bantuan. “Hal ini kami pahami sebagai strategi mereka bertahan hidup. Dalam seminggu mereka bisa dipastikan datang ke sekretariat Perkumpulan Peduli, Kompleks Perumahan Gunung Sari. Pernah ketika itu, satu rombong SAD datang berturut-turut ke sekretariat, minta beras. Ketika itu, kami tidak punya uang. Terpaksalah, saya ambil tabungan istri untuk membantu mereka,” ulasnya.
Dalam prinsip peduli, Pandong mengutamakan masyarakat dampingan. “Dalam situasi tidak punya uang, kita mesti membelanjakan uang untuk mereka. Perasaan batin ini, kadang membuat kami menertawakan diri sendiri, apakah ini akan bermakna? Jika kita lihat dari sisi materi, maka kita akan separuh hati untuk mereka. Namun jika kita meletakkannya sebagai ibadah, maka akan menjadi amal yang nanti menggembirakan kita di hari akhir,” katanya.
Jaringan NGO
Perkumpulan Peduli sangat diuntungkan dengan adanya NGO Tranparancy International Indonesia (TII) yang mempunyai kegiatan mendorong pemerintahan yang baik di Kabupaten Dharmasraya. “Saat kegiatan pelatihan terakhir, TII menghibahkan kepada kami berupa alat-alat kantor dan buku-buku bacaan. Termasuk biaya awal sekretariat yang merupakan bantuan tidak langsung dari TII,” ujarnya.
Keberuntungan peduli berlanjut dengan adanya orang yang mau memberikan dua blok rumah untuk perkumpulan gratis sampai saat ini. “Kami hanya membayar tagihan listrik di sana,” tutur Pandong yang sudah banyak terlibat aktif di dunia NGO sejak 1998, di Padang, Jambi dan Jakarta.
“Kami ingin membangun perkumpulan ini berbasiskan sumber daya lokal termasuk dukungan finansial untuk beraktivitas. Untuk itu, kami mengundang kawan-kawan lebih banyak terlibat. Kami menawarkan program pendampingan masyarakat, mencari donatur. Alhamdulillah, saat ini sudah terkumpul donasi Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Jumlah tersebut cukup untuk operasional. Namun hal ini, tentu tidak akan cukup untuk kehidupan pribadi kawan-kawan yang berkumpul di sekretariat,” ungkapnya.
Untuk biaya hidup, ada di antara relawan membuka usaha pencucian motor, seperti yang dilakukan Rio Saputra. Melihat situasi tersebut, Pandong berinisiatif menghubungi teman-teman aktivisnya di NGO Padang, Jambi dan Jakarta tempat dahulu ia beraktivitas.
Upaya tersebut disambut baik, beberapa lembaga seperti KKI-Warsi yang memang peduli terhadap pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan orang rimba di Jambi, mau membantu. “Sekaitan dengan itu, kami juga dibantu dengan SSS-Pundi Sumatera, lembaga di Jambi yang mempunyai program untuk masyarakat marjinal, terutama SAD,” ulasnya.
Adanya bantuan dari komunitas NGO tersebut, sangat membantu pembiayaan Perkumpulan Peduli dalam berkegiatan. Walaupun secara program, hingga kini Perkumpulan Peduli tidak mempunyai ikatan program dengan pihak mana pun.
“Hal yang menjadi pokok pemikiran utama kami dalam melakukan kegiatan, yakni semakin berkurangnya kawasan hutan di Dharmasraya akibat pembukaan perkebunan dalam skala besar,” ujarnya.
Seperti diketahui, SAD menggantungkan seluruh kehidupannya dari hasil hutan. Ketika luasan hutan semakin berkurang, secara tidak langsung akan berdampak besar terhadap kelangsungan hidup mereka. “Makanya, kami perlahan memperkenalkan huruf dan angka kepada SAD. Ini menjadi salah satu bagian dari strategi kami, agar anak-anak SAD ke depan dapat bertahan hidup, ketika kawasan hutan itu punah,” terang anggota Perkumpulan Peduli, Rio Saputra.
Subjek lain yang selalu menjadi buah pemikiran Perkumpulan Peduli, bahwa SAD secara nyata merupakan suku yang dimarjinalkan dalam tatanan sosial kemasyarakatan. Begitu pula pemerintah, juga tidak melakukan upaya apa pun dalam mengayomi SAD. (***)
sumber: Padang Ekspres • Senin, 02/07/2012 13:46 WIB • SANNY ARDHY -- Dhamasraya • 272 klik
Kamis, 21 Juni 2012
Meretas marginalisasi Orang Rimba
Orang rimba atau Suku Anak DAlam (SAD) adalah bagian
dari bangsa Indonesia yang terpingirkan dalam derap pembangunan Hutan dan rimba
sebagian “rumah”nya pun digerus atas nama inverstasi.
Sepanjang hayatnya Orang Rimba ini sangat minim
memperoleh layanan kesehatan, kuarng mendapat akses pendidikan, bantuan beras
miskin tak pernah diterima, dan tak adanya pengakuan legalitas formal terhadap
keberadaan mereka secara hukum.
Orang rimba hiudp berkelompok (rombong) yang tersebar
di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas Jambi, disepanjang jalur lingkar
tengah Sumatra, Kabupaten Musi Banyuasin, Batanghari, Sarolangun, Merangin,
Bungo, Tebo, Dharmasraya, Solok Selatan dan Kuantan Singingi. Penyebarannya
berada pada empat propinsi, yakni Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Sumbar dan
Riau.
Luasnya kawasan hunian Orang Rimba-beberapa varian
menyebut Orang Kubu, Suku Anak Dalam, Orang Sakai, dan lain sebagainya—memaksa
mereka hidup berpencar-pencar.
Dalam cacatan literature tentang Orang Rimba,
dikatakan, seperti ditulis Achmato Mendatu dalam riset kecil di blognya, Orang
Rimba adalah masyarakat hutan yang bebanr-benar tinggal dan hidup didalam
keteduhan hutan. Mereka memamfaatkan seluruh ruang hutan bagi kehidupan.
Filosofi hidup mereka pun bersumber pada kehidupan hutan.
Read More......
Sumber: Minggu, 25 Maret 2012, Haluan Halaman 1
Kamis, 16 Februari 2012
Berebut Symbol ke-Digdaya-an
Dengan sedikit mengeluh, seorang teman berkata kepada saya; “teman-teman kita banyak yang sukses”, ehmm. Sedangkan saya hanya begini saja, teman kita ada yang bekerja di perusahaan asing, ada yang bekerja menjadi PNS, pengacara seperti kamu
dan ada yang menjadi Dosen. Percakapan tersebut berlalu begitu saja, setelah sampai dirumah muncul pertanyaan dalam otak saya. kenapa dia memberi penilaian yang prestisius pada pekerjaan professional seseorang? Padahal, teman saya tersebut mempunyai kemerdekaan tersendiri dalam menjalankan hidupnya.
Pada situasi yang lain, saya mendengarkan cerita di sebuah kedai kopi yang mengatakan: bapak si A hebat ya, kini dia sudah menjadi ketua organisasi besar dan bapak si B sudah menjadi terkenal. Tetapi, yang menyebutkan tersebut lupa, bahwa bapak si A yang hebat tersebut dalam kantornya merupakan pemain yang hebat dalam melakukan manipulasi proyek, telah dibuktikan dengan dihukum penjara setahun yang lalu karena korupsi. Kemudian bapak si B yang terkenal tersebut, dahulunya hidup semena-mena dalam menjalankan hidup premanismenya.
Jadi, kenapa penilaian seseorang kepada orang-orang tersebut menjadi sesuatu yang dikagumi? padahal latarbelakang orang tersebut, secara umum dipahami sebagai tindakan yang tidak baik.
Ahh…sudah la—tatanan norma, nilai-nilai sudah mulai jungkar balik. Ungkap seorang sahabat terhadap fenomena ini. Hal ini bisa disebabkan karena rendahnya kualitas kebudayaan manusia saat ini. Dengan pengertian budaya adalah bentuk respon komunitas masyarakat dalam menilai perilaku dalam komunitasnya atau pada komunitas yang lain. Seperti, kebudayaan Materialistik, yakni; ketika orang-orang atau komunitas menilai baik-buruknya sesuatu dari materi yang dimiliki oleh seseorang atau komunitas tertentu. Jadi, fenomena perebutan Harta dan Kekuasaan merupakan perebutan Symbol Ke-Digdaya-an bagi seseorang, keluarga dan kelompok mereka, ungkapnya.
Kalau begitu, apa yang direbut oleh Aktivis Sosial, Ulama dan Budayawan?. Mungkin, mereka tidak berebut sesuatu yang tidak bersifat “materi”. Tetapi, berebut dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Seperti: aktivis berjuang Demi Keadilan Sosial. Ulama berebut menjalankan perintah Tuhan. Budayawan berebut, menggali nilai-nilai budaya yang berprikemanusiaan, lanjutnya.
Label:
REFLEKSI
Langganan:
Comment Feed (RSS)